Rabu, 11 Juli 2012

FILOSOFI AIR


Hiduplah seperti air. Mengalir dan bergelombang dengan tenang. Menjadi sumber kehidupan segala hal yang hidup. Tetapi, harus hati-hati dengan air, sebab jika air dibendung, ia mampu meratakan apapun yang dilewatinya. Inilah kenangan penulis dengan almarhum bapak kami di pematang sawah di kampung pedalaman puluhan tahun lalu. Kenangan tersebut muncul kembali, saat sahabat saya, Dr. Bambang Yuniarto, M.Si menyebut bahwa hiduplah seperti air yang membentuk sesuai wadah air itu sendiri.

Secara ilmiah, Hawking 1997 –fisikawan Amerika-- menyebut bahwa air adalah hidup yang bertipikal anomaly. Air memiliki anomali khusus dan hampir berbeda dengan ciptaan Tuhan lainnya. Proses pembekuan dan pencarian air demikian ritmik dan menjamin kehidupan apapun di sekitarnya. Menjadi apapun itu air, ia tetap memberi jaminan ketentraman bagi kehidupan.

Air, mengutif Moch. Hatta, tentu bukan gincu atau liftstik. Sebab pewarna (hijau, kuning, merah, hitam atau ungu) justru minta dilarutkan oleh air. Tanpa air, warna apapun tidak akan pernah menjadi sebuah keindahan. Fungsi warna-warna tadi, akan terjadi justru di saat air berkenan digunakan. Itulah mungkin kenapa, Thales –filosof Yunani abad ke 7 Sebelum Masehi—menyebut air sebagai asas kehidupan.

Ideologi Air
Jika nalar-nalar di atas dijadikan sandaran dalam menganalisis fenomena kehidupan manusia hari ini, yang bertifikal mencari kedamaian dengan peperangan, yang membangun inklusivisme dengan karakter ekslusive, yang mencitrakan agamawan untuk penipuan, yang membangun demokrasi dengan anarki, yang membangun moralitas dengan kekejian, yang membangun tempat ibadah untuk memperoleh dukungan politik, yang bercita-cita membangun birokrasi bersih dengan cara yang koruptif, maka, filosofi air ini mesti segera dihidupkan. Sebab jika tidak, maka apa yang pernah ditulis Rosihan Anwar (1961) –wartawan kawakan Republik Indonesia sejak pra kemerdekaan sampai melintasi empat jaman setelahnya—, bangsa ini akan kembali dihinggapi penyakit paranoid. Suatu penyakit psychosomatic yang membahayakan kehidupan.

Penyakit yang dimaksud Rosihan anwar di atas adalah: rasa kesal, rasa teralienasi, rasa cemburu, rasa curiga, merasa diserang, merasa dibuntuti, merasa dihantui, merasa harus mempersiapkan pasukan agar tetap berkuasa, akan terus menjangkiti bangsa Indonesia. Ujungnya, secara personal individu-individu bangsa ini, akan terkena penyakit bukan hanya sekedar exim dan kurapan, tetapi, juga memasuki penyakit akut seperti jantungan, paru-paru, diabetes, asam urat dan kolesterol serta jenis penyakit lain yang cukup banyak dan kompleks.

Menyederhanakan persoalan, hidup di alam realitas-empiris, mampu bersanding dan berbuat di tengah kesemrawutan persoalan serta realistis menghadapi persoalan, menurut saya itulah ideologi air. Ideologi ini, patut segera dibangun agar setiap komponen bangsa, segera tersadarkan bahwa apapun yang menjadi pilihan hidup manusia di dunia, selalu bersipat sementara. Tidak ada keabadian karena abadi hanya milik mutlak Tuhan. Siapapun yang bercita-cita hendak membangun keabadian di alam yang prophan, sama saja dengan mengambil sipat Tuhan, dan Tuhan pasti marah atas mereka yang memiliki cita-cita seperti itu. Ia akan menjadi Fir’aun baru dan Tuhan akan memberikan kutukan terhadap siapapun yang memiliki ciri ini.

Ideologi lain yang hendak dibangun air adalah, kemampun neutralitas di alam realitas yang plural. Pluralitas adalah takdir terbesar Tuhan yang kedua setelah takdir akal bagi manusia. Sipat tunggal, sama seperti sipat keabadian --yang hanya merupakan ciri Tuhan--. Siapapun yang hendak dan bercita-cita untuk membangun peradaban dalam ketunggalan wajah, maka, ia akan menjadi Mushalini baru, Nazi baru dan Fidel Castro baru. Dalam jangka pendek, mungkin benar mereka dapat bertahan, tetapi, pasti dan yakinlah bahwa setelah generasi itu, akan lahir antitesis baru. Air hanya menginginkan sintesa dan tidak memiliki hasrat untuk terus menerus melahirkan antitesa.

Air meminta manusia untuk terus menerus bekerja dan berkarya agar mampu memberi kehidupan kepada setiap makhluk hidup. Air menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah sementara dan karena sementaranya itu, tidak ada cara lain yang mesti dilakukan manusia, kecuali berbuat kebaikan. Kebaikan yang mampu mengabadikan diri manusia dalam hati manusia lainnya dan tersimpan dalam setiap tetes darah manusia dan ditransformasi melalui berbagai alur cerita kepada generasi setelahnya.

Bagi saya, apa yang ditulis Prof. Adang Djumhur dalam Radar Cirebon Edisi Selasa 19 Juni 2012 yang di dalamnya memuat tentang sosok Prof. Imron Abdullah, adalah salah satu alat bukti bahwa tetesan kebaikan yang pernah dipancarkan almarhum, telah tersimpan dalam tetesan darah penulis dimaksud dan sebelumnya tersimpan rapat dalam detak nafas jantung dan paru Prof. Adang, untuk kemudian dimuntahkan ke ranah publik.

Secara pribadi, tentu saya menjunjung tinggi apa yang ditulis Prof. Adang Djumhur itu. Hal ini, bukan hanya karena tulisan dimaksud, telah memberi pengertian baru bahwa sosok penulis sejatinya adalah intelektual yang genuin dan generik, tetapi, tulisannya itu, dapat menjadi alat bukti bahwa kita hidup di alam sadar, dan tidak ada cerita untuk mereka yang telah mendahului kita ke alam kita semua nanti, kecuali kebaikan. Penulis menyadarkan kita bahwa berbicara yang baik, jauh lebih baik dan mengandung nilai guna dibandingkan dengan menceritakan yang buruk-buruk. Saya juga percaya, setiap kita yang mengenal sosok almarhum akan memiliki asumsi yang sama. Kenapa demikian? Sebab dalam kasus tertentu, menurut saya, almarhum memiliki sedikit banyak karakter, seperti karakter yang difilosofikan air. Wassalam


*Guru Besar Filsafat Ilmu IAIN Syekh Nurjati Cirebon