Hiduplah seperti air. Mengalir dan
bergelombang dengan tenang. Menjadi sumber kehidupan segala hal yang hidup.
Tetapi, harus hati-hati dengan air, sebab jika air dibendung, ia mampu
meratakan apapun yang dilewatinya. Inilah kenangan penulis dengan almarhum
bapak kami di pematang sawah di kampung pedalaman puluhan tahun lalu. Kenangan
tersebut muncul kembali, saat sahabat saya, Dr. Bambang Yuniarto, M.Si menyebut
bahwa hiduplah seperti air yang membentuk sesuai wadah air itu sendiri.
Secara ilmiah, Hawking 1997
–fisikawan Amerika-- menyebut bahwa air adalah hidup yang bertipikal anomaly. Air memiliki anomali khusus dan
hampir berbeda dengan ciptaan Tuhan lainnya. Proses pembekuan dan pencarian air
demikian ritmik dan menjamin kehidupan apapun di sekitarnya. Menjadi apapun itu
air, ia tetap memberi jaminan ketentraman bagi kehidupan.
Air, mengutif Moch. Hatta, tentu
bukan gincu atau liftstik. Sebab pewarna
(hijau, kuning, merah, hitam atau ungu) justru minta dilarutkan oleh air. Tanpa
air, warna apapun tidak akan pernah menjadi sebuah keindahan. Fungsi
warna-warna tadi, akan terjadi justru di saat air berkenan digunakan. Itulah
mungkin kenapa, Thales –filosof Yunani abad ke 7 Sebelum Masehi—menyebut air
sebagai asas kehidupan.
Ideologi Air
Jika nalar-nalar di atas dijadikan
sandaran dalam menganalisis fenomena kehidupan manusia hari ini, yang
bertifikal mencari kedamaian dengan peperangan, yang membangun inklusivisme
dengan karakter ekslusive, yang mencitrakan agamawan untuk penipuan, yang
membangun demokrasi dengan anarki, yang membangun moralitas dengan kekejian,
yang membangun tempat ibadah untuk memperoleh dukungan politik, yang
bercita-cita membangun birokrasi bersih dengan cara yang koruptif, maka,
filosofi air ini mesti segera dihidupkan. Sebab jika tidak, maka apa yang
pernah ditulis Rosihan Anwar (1961) –wartawan kawakan Republik Indonesia sejak
pra kemerdekaan sampai melintasi empat jaman setelahnya—, bangsa ini akan
kembali dihinggapi penyakit paranoid.
Suatu penyakit psychosomatic yang
membahayakan kehidupan.
Penyakit yang dimaksud Rosihan
anwar di atas adalah: rasa kesal, rasa teralienasi, rasa cemburu, rasa curiga,
merasa diserang, merasa dibuntuti, merasa dihantui, merasa harus mempersiapkan
pasukan agar tetap berkuasa, akan terus menjangkiti bangsa Indonesia. Ujungnya,
secara personal individu-individu bangsa ini, akan terkena penyakit bukan hanya
sekedar exim dan kurapan, tetapi, juga memasuki penyakit akut seperti
jantungan, paru-paru, diabetes, asam urat dan kolesterol serta jenis penyakit
lain yang cukup banyak dan kompleks.
Menyederhanakan persoalan, hidup di
alam realitas-empiris, mampu bersanding dan berbuat di tengah kesemrawutan
persoalan serta realistis menghadapi persoalan, menurut saya itulah ideologi air.
Ideologi ini, patut segera dibangun agar setiap komponen bangsa, segera
tersadarkan bahwa apapun yang menjadi pilihan hidup manusia di dunia, selalu
bersipat sementara. Tidak ada keabadian karena abadi hanya milik mutlak Tuhan.
Siapapun yang bercita-cita hendak membangun keabadian di alam yang prophan,
sama saja dengan mengambil sipat Tuhan, dan Tuhan pasti marah atas mereka yang
memiliki cita-cita seperti itu. Ia akan menjadi Fir’aun baru dan Tuhan akan
memberikan kutukan terhadap siapapun yang memiliki ciri ini.
Ideologi lain yang hendak dibangun
air adalah, kemampun neutralitas di alam realitas yang plural. Pluralitas
adalah takdir terbesar Tuhan yang kedua setelah takdir akal bagi manusia. Sipat
tunggal, sama seperti sipat keabadian --yang hanya merupakan ciri Tuhan--.
Siapapun yang hendak dan bercita-cita untuk membangun peradaban dalam
ketunggalan wajah, maka, ia akan menjadi Mushalini baru, Nazi baru dan Fidel Castro
baru. Dalam jangka pendek, mungkin benar mereka dapat bertahan, tetapi, pasti
dan yakinlah bahwa setelah generasi itu, akan lahir antitesis baru. Air hanya
menginginkan sintesa dan tidak memiliki hasrat untuk terus menerus melahirkan
antitesa.
Air meminta manusia untuk terus
menerus bekerja dan berkarya agar mampu memberi kehidupan kepada setiap makhluk
hidup. Air menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah sementara dan karena
sementaranya itu, tidak ada cara lain yang mesti dilakukan manusia, kecuali
berbuat kebaikan. Kebaikan yang mampu mengabadikan diri manusia dalam hati
manusia lainnya dan tersimpan dalam setiap tetes darah manusia dan
ditransformasi melalui berbagai alur cerita kepada generasi setelahnya.
Bagi saya, apa yang ditulis Prof.
Adang Djumhur dalam Radar Cirebon Edisi Selasa 19 Juni 2012 yang di dalamnya
memuat tentang sosok Prof. Imron Abdullah, adalah salah satu alat bukti bahwa
tetesan kebaikan yang pernah dipancarkan almarhum, telah tersimpan dalam
tetesan darah penulis dimaksud dan sebelumnya tersimpan rapat dalam detak nafas
jantung dan paru Prof. Adang, untuk kemudian dimuntahkan ke ranah publik.
Secara pribadi, tentu saya
menjunjung tinggi apa yang ditulis Prof. Adang Djumhur itu. Hal ini, bukan
hanya karena tulisan dimaksud, telah memberi pengertian baru bahwa sosok
penulis sejatinya adalah intelektual yang genuin dan generik, tetapi,
tulisannya itu, dapat menjadi alat bukti bahwa kita hidup di alam sadar, dan
tidak ada cerita untuk mereka yang telah mendahului kita ke alam kita semua
nanti, kecuali kebaikan. Penulis menyadarkan kita bahwa berbicara yang baik,
jauh lebih baik dan mengandung nilai guna dibandingkan dengan menceritakan yang
buruk-buruk. Saya juga percaya, setiap kita yang mengenal sosok almarhum akan
memiliki asumsi yang sama. Kenapa demikian? Sebab dalam kasus tertentu, menurut
saya, almarhum memiliki sedikit banyak karakter, seperti karakter yang
difilosofikan air. Wassalam